Perkembangan Kelompok Milisi Sipil, Kekerasan, dan Ancaman Terhadap Perkembangan HAM di Yogyakarta

Aksi Pro-Demokrasi, 16 Juni 2016

Oleh: Tim LBH Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta terletak di bagian selatan Pulau Jawa, dan berbatasan dengan Provinsi Jawa Tengah dan Samudera Hindia. Provinsi yang memiliki luas 3.185,80 km2 ini terdiri atas satu kotamadya, dan empat kabupaten, 78 kecamatan, dan 438 desa/kelurahan. Menurut sensus penduduk 2015 memiliki populasi 3.679.176 jiwa dengan proporsi 1.824.729 laki-laki, dan 1.866.467 perempuan, serta memiliki kepadatan penduduk sebesar 1.115 jiwa per km2. 1

Situasi kemajemukan Yogyakarta dapat dilihat dari agama yang di peluk penduduknya. Meski penduduk D.I.Yogyakarta mayoritas beragama Islam yaitu sebesar 90,96%, namun terdapat juga penduduk yang beragama Kristen, Katholik, Hindu, Budha. Sarana ibadah untuk para pemeluk agama terus mengalami perkembangan, pada tahun 2007 terdiri dari 6214 masjid, 3413 langgar, 1877 musholla, 218 gereja, 139 kapel, 25 kuil/pura dan 24 vihara/klenteng. Jumlah pondok pesantren pada tahun 2006 sebanyak terdata sejumlah 260, dengan 260 kyai, dan 2.694 ustaz serta 38.103 santri. Sedangkan jumlah madrasah baik negeri maupun swasta terdiri dari 148 madrasah ibtidaiyah, 84 madrasah tsanawiyah dan 35 madrasah aliyah. 2

Selain agama, kemajemukan D.I.Yogyakarta dapat dilihat dari suku bangsa penduduknya. Penduduk D.I.Yogyakarta dari suku bangsa Jawa terdapat 3.020.157 (96,82%) jiwa, suku bangsa Sunda 17.539 (0,56%) jiwa, Melayu 10.706 (0,34%) jiwa, Tionghoa 9.942 (0,32%) jiwa, Batak 7.890 (0,25%) jiwa, Minangkabau 3.504 (0,11%) jiwa, Bali 3.076 (0,10%) jiwa, Madura 2.739 (0,09%) jiwa, Banjar 2.639 (0,08%) jiwa, Bugis 2.208 (0,07%) jiwa, Betawi 2.018 (0,06%) jiwa, Banten 156 (0,01%) jiwa, dan lain-lain 36.769 (1,18%) jiwa.3

Data di atas menunjukkan bahwa D.I.Yogyakarta adalah provinsi dengan penduduk yang heterogen. Mulai dari suku bangsa, agama, etnis dan budaya. Kemajemukan yang ada tidak membuat Yogyakarta menjadi kota yang terpecah-pecah dan penuh kekerasan. Kemajemukan itu bisa dijaga sedemikian rupa. Hal itulah yang akhirnya menobatkan kota pendidikan ini sebagai “City of Tolerance”. Maka tak salah jika Yogyakarta memiliki slogan “Berhati Nyaman”. Sebab memang nyaman untuk menjadi kota rujukan tempat berdiam dengan segala cerita kemajemukan yang terjaga dengan baik.

Namun, kenyamanan itu kemudian berubah drastis menginjak tahun 2010. Sejak tahun 2010 Yogyakarta mulai marak dengan aksi-aksi intoleransi. Bahkan dengan melakukan kekerasan yang diusung oleh berbagai kelompok. Banyak penyebab dan alasan munculnya aksi-aksi intoleran tersebut. Akan tetapi yang sangat disayangkan dari sekian banyak jumlah kasus intoleransi yang dilakukan dengan kekerasan, hampir semua kasus tidak diproses secara fair oleh aparat penegak hukum. Hukum seakan kehilangan taring dihadapan kelompok intoleran.

Dalam rentan waktu 2010 hingga tahun 2016 LBH Yogyakarta mencatat setidaknya terdapat 26 kasus yang belum tertuntaskan. Beberapa kasus tersebut diantaranya “Pembubaran Q Film Festival” (2010), “Penghentian Doa Keliling di Bantul” (2011), “Ancaman terhadap peringatan IDAHO” (2011), “Pengusiran Terhadap George Junus Aditjondro untuk Pergi dari Yogyakarta” (Desember 2011), “Pembubaran diskusi dan perusakan Kantor LKIS” (2012), “Kekerasan oknum Polri terhadap anak Reza Eka Wardana” (2012), “Pembubaran Pengajian di SMA Piri” (2012), “Penghentian Pemakaian Gua Maria Gedangsari” (2012), “Kekerasan terhadap Huda” (2012), “Pembubaran diskusi dan penganiayaan Keluarga Eks Tapol 65 oleh FAKI” (2013), “Intimidasi dan ancaman kepada Rousyan Fikr (Syiah) Sleman” (2014), “Deklarasi anti Syiah di Maskam UGM bersama bupati Sleman” (2014), “Kekerasan dan intimidasi kepada Aminudin Aziz (Ketua FLI Gunungkidul)” (April 2014), “Pembubaran pertemuan kelompok Syiah di Bantul” (Mei 2014), “Ancaman terhadap kegiatan Paskahan Adisyuswa se-Jawa GKJ Gunungkidul” (Mei 2014), “Kasus Penyerangan dan Tindak Kekerasan terhadap umat yang mengikuti Doa Bersama di Ngaglik Sleman” (Mei 2014), “Kasus Kekerasan terhadap Yulius Pimpinan Galang Press Di Ngaglik Sleman” (Mei 2014), “Penyerangan Gereja Pantekosta di Pangukan Sleman” (Mei 2014), “Pembubaran Paksa Aksi Demonstrasi Aliansi Mahasiswa Papua” (Juli 2014), “Pelarangan Diskusi Berjudul Melek Media : Menanggulangi Konten Negatif Fundamentalisme Agama di Dunia Maya di Jogja National Museum Yogyakarta” ( Oktober 2014), “Penyerangan Paska Gelaran Aksi Transgender Day of Remembrance di Tugu Yogya, Yogyakarta” ( November 2014), “Pembuburan Perkemahan 1500 Siswa Kristen di Bumi Perkemahan Wonogondang Cangkringan Sleman” (Juli 2015), “Intimidasi Terhadap Permohonan IMB Gereja GBI Saman dan Peristiwa Pembakaran Gereja GBI Saman Bantul” (Juli 2015), “Intimidasi Terhadap Yayasan Rausyan Fikr” (Oktober 2015), “Penyerangan dan Pembubaran Paksa Acara Lady Fast” (April 2016), “Penganiayaan dan Kekerasan Terhadap Mahasiswa Papua (Juli 2016).”

Aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang dengan memiliki identitas organisasi ini sungguh sangatlah mengkhawatirkan. Kelompok milisi sipil/ormas yang melakukan kekerasan sangatlah beragam, mereka semua membawa identitas seperti agama, suku-primordial adat ataupun identitas ideologi mapan negara, bahkan identitas aparat. Aksi-aksi kekerasan ini kebanyakan menyerang mereka-mereka yang tergolong sebagai kelompok minoritas, baik minoritas agama dan keyakinan, suku dan juga ekonomi. Selain itu juga sering kali menyerang kelompok-kelompok intelektual gerakan masyarakat sipil yang pro-demokrasi diperkotaan.

Seperti sebelum-sebelumnya peristiwa kekerasan atas nama agama kembali terjadi di awal tahun 2016 ini, peristiwa tersebut adalah peristiwa penyegelan pondok pesantren waria Al-Fattah Yogyakarta. Peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh sekolompok orang anggota ormas Front jihad Islam (FJI) tersebut cukup menjadi perhatian. Beberapa aktivis pro-demokrasi yang geram atas peristiwa kekerasan tersebut segera melakukan konsolidasi untuk aksi damai. Terlebih para kelompok ormas di Yogyakarta yang sudah demikian vulgar menyuarakan aksi kekerasan terhadap kelompok rentan minoritas LGBT seiring dengan mencuatnya pemberitaan nasional tentang kelompok LGBT.

Selain peristiwa aksi kekerasan atas nama agama yang dilakukan oleh kelompok milisi sipil intoleran, juga terjadi aksi kekerasan terhadap kelompok masyarakat lainnya seperti : Pada bulan Mei 2016, Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) dan FKPPI melakukan aksi kekerasan dan pembubaran paksa agenda peringatan World Press Freedom Day 2016 dengan Pemutaran Film “Pulau Buru Tanah Air Beta”. Perayaan yang bertempat di kantor Aliansi Jurnalis Independent (AJI) Yogyakarta itu dihadiri oleh beberapa undangan. Bahkan pihak Polda pun menerima undangan untuk menghadiri acara tersebut. Namun bukan untuk menghadiri undangan, pihak kepolisian yang hadir juastru meminta acara dihentikan dengan intimidatif.

Peristiwa tersebut bukanlah peristiwa kekerasan pertama kali yang dilakukan oleh FAKI dan FKPPI. Pada 27 Oktober 2013 yang lalu, Front Anti Komunis Indonesia (FAKI) dan FKPPI melakukan aksi kekerasan dan pembubaran paksa pertemuan keluarga korban pelanggaran HAM tahun 65 di kapel Godean Sleman. Pertemuan yang bertempat di Padepokan Santi Dharma Godean itu merupakan acara kecil dan santai. Acara itu juga hanya melibatkan individu, bukan organisasi. Pertemuan itu rencananya akan membicarakan soal pemberdayaan dalam bidang ekonomi. Setelah kejadian di hari minggu itu, keesokan harinya karena mendengar kabar akan digelar konpres LBH Yogyakarta bersama korban, mereka (FAKI dan FKPPI) datang secara bergerombol ke kantor kami, memaksa tidak mendamping korban dan juga melakukan tindakan vandalis.

Jauh sebelumnya pada 17 Januari 2007, FAKI sebetulnya juga pernah menyerang Kongres Pendirian Partai Persatuan Pembebasan Nasional (PAPERNAS) di Yogyakarta, sebuah partai yang baru saja dibentuk saat itu. Bahkan mereka (FAKI) pun juga melakukan tindakan yang serupa saat kawan-kawan anggota partai itu meminta bantuan hukum ke LBH Yogyakarta saat masih di Jl. Haji Agus Salim. Berbeda dengan FJI, MMI , GPK dan GAM ormas-ormas/kelompok milisi sipil yang mengatasnamakan agama, FAKI dan FPPI tidak membawa sentimen identitas agama. Mereka lekat dengan membawa ide-ide semangat hasil orde baru, seperti ide-ide kemiliteran dan juga stigmatisasi terhadap faham komunisme. Penyerangan terhadap pegelaran perayaan “world press freedom day 2016”, diskusi di Godean pada tahun 2013 dan juga jauh sebelumnya pada tahun 2007, jelas merupakan bentuk pelanggaran hak atas kebebasan untuk berkumpul, berserikat dan berorganisasi. Kesemua kasus tersebut juga sudah dilaporkan kepada pihak kepolisian tetapi hasilnya tetaplah mandul sampai sekarang.

Isu kekerasan sendiri apabila kita tarik kebelakang sebetulnya baru menjadi ramai semenjak era Reformasi atau Orde Baru selasai dengan turunnya Suharto. Kenyataan ini sebetulnya agak memilukan karena disatu sisi kita mulai bisa merasakan kebebasan yang saat era orde baru tidak bisa nikmati. Semua akibat rezim pemerintahan Orde Baru yang sangat otoriter dan menggunakan gaya-gaya pendekatan militer setiap kali ada gejolak di masyarakat sipil. Saat Orde Baru berbagai aturan hukum sangatlah membatasi HAM, mengekang kebebasan dan seringkali negara secara jelas menjadi aktor pelaku pelanggar HAM. Semua berpusat pada Soeharto sebagai pusat kekuasaan tunggal, dengan motor politik partai Golkar dan militer. Merekalah yang berkuasa. Gejolak masyarakat sipil karena ormas, serikat buruh, serikat tani bahkan gerakan fundamentalis agama sulit tumbuh di era tersebut. Semua tahu siapa yang punya kekuasaan, sedikit saja berbeda dengan Negara maka siap-siap akan disingkirkan oleh aparat.

Setelah reformasi semua berubah. Kekerasan yang dilakukan aparat negara memang tidak sebanyak dulu. Seperti disebutkan sebelumnya kekerasan di masyarakat mulai bermunculan, pada awal saat era pemerintahan presiden Gus Dur di beberapa daerah luar Jawa terjadi konlfik kekerasan meluas yang kemudian dihembuskan atas nama agama dan etnis atau berbau SARA. Semenjak reformasi juga mulai bermunculan ormas-ormas keagamaan Islam yang sering main hakim sendiri apabila dirasa ada perilaku masyarakat yang dianggap menyimpang, seperti peristiwa hidupnya pelacuran di bulan Ramadhan dan peredaran alkohol. Yang paling kontras kelompok keagamaan ini malahan menjadi kelompok pengamanan masyarakat (Pamswkarsa) saat Sidang Istimewa MPR RI November 1998. Mereka menghalangi bahkan berhadap-hadapan dengan para Mahasiswa yang saat itu seringkali menjadi penggerak aksi-aksi demonstrasi mengawal perubahan reformasi.

Semenjak reformasi hingga sekarang, gerakan kelompok-kelompok milisi sipil/ormas ini paling banyak mewarnai peristiwa kekerasan. Banyak ilmuan sosial mengkaji gejala ini, mereka memberi bingkai perspektif teori. Salah satu bingkai perspektif teori analisis yang paling mendekati adalah aksi kekerasan kelompok milisi sipil ini sebagai aksi vigilante atau vigilantism. Perspektif vigilantism ini sebetulnya bukanlah hal baru. Apa itu vigilantism? Vigilantism adalah praktik-praktik kekerasan yang dilakukan oleh sekelornpok orang untuk rnengontrol perilaku warga yang menyimpang di luar jalur hukum4.

Dalam perkembangannya vigilantism didefinisikan dengan mengambil beberapa ukuran: pertama rnerupakan sebuah fenomena kekerasan; kedua, vigilantism bangkit berlandaskan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja aparat penegak hukum dalam kondisi lemahnya sistem pemberlakuan hukum; dan ketiga, sifat masyarakat yang otonom dan merasa bertanggung jawab atas penegakan hukum maupun tatanan sosial yang telah ada. Selain itu, diasumsikan juga bahwa: pertama, kegiatan ini pada dasarnya akan memihak dan membela kepentingan dan tatanan sosial yang telah terbentuk (agama, budaya, sosial, kasta, ekonmi dan politik), vigilante ada bukan untuk membangun kepentingan dan tatanan sosial yang revolusioner; dan kedua, kegiatan ini akan memiliki sebuah dilema yang self-contradiction, yaitu dalarn kegiatan para vigilante untuk menegakkan hukum akan bertentangan atau melanggar juga hukum yang ingin mereka bela.

Persoalan dukungan dari Negara merupakan unsur penting dalam melihat vigilantism (dan kekerasan pada umumnya), karena dalam fenomena vigilantism hakikat kekerasan sering terekspos dalam dinamika ‘hubungan antara negara dan masyarakat’. Persoalan dukungan dari Negara penting karena seiring dengan berkembangnya vigilantism, akan terjadi tawar-menawar tentang batas antara wewenang negara dan masyarakat, yang tentunya tidak akan terlepas dari faktor dukungan tersebut.

Selain itu vigilantism menampilkan diri dalam berbagai wujud. Ada yang terorganisasi dengan reguler, ada juga yang tidak terorganisasi, ada yang disponsori oleh pemerintah, dan ada yang tidak disponsori. Meskipun beragam, segala bentuk vigilantism memiliki persamaan, yaitu sebagai “establishment violence” dan sebagai unsur yang berperan menghasilkan suatu tatanan moral. Dengan kata lain, vigilantism pada umumnya dilakukan dengan tujuan yang konservatif. Yaitu didesain untuk menciptakan, mempertahankan, atau menciptakan kembali suatu tatanan sosio-politik yang telah terbentuk5.

Ciri selajutnya dari vigilantism atau kekerasan vigilante , mereka selalu melakukan aksi main hakim sendiri, melakukan aksi kekerasan pada pihak yang mereka anggap melanggar hukum dan nilai-nilai moralitas publik versi mereka, nilai-nilai kultural (agama, sosial, politik dan budaya) yang dianggap sudah mapan. Aksi-aksi kekerasan yang mereka lakukan sudah jelas melewati batas ambang, seolah menjadi aparat yang memiliki wewenang. Begitu pun pada kasus aksi kekerasan terhadap anggota keluarga pelanggaran HAM 65, FKPPI saat mendesak LBH Yogyakarta, mereka mengatakan bahwa anggota keluarga tak layak hidup di bumi karena stigma PKI.

Pada bulan juli 2016, kembali terjadi aksi kekerasan dalam pengepungan asrama mahasiswa papua. Kali ini, peristiwa tersebut di gawangi oleh beberapa elemen kelompok milisi sipil/ormas yang melakukan aksi kekerasan bersama-sama. Mulai dari kelompok milisi sipil/ormas yang mengatsnamakan agama, kelompok milisi sipil/ormas yang mengatasnamakan ideology mapan Negara atau identitas aparat, hingga kelompok milisi sipil/ormas kesukuan-primordial adat. Peristiwa itu semakin membuka mata publik yang semakin memperjelas sikap kepolisian terhadap kelompok-kelompok pelaku kekerasan. Semakin jelas terdapat fenomena yang menunjukkan wajah aslinya manakala pengepungan asrama mahasiswa papua justru dilakukan kepolisian bersama dengan kelompok-kelompok milisi sipil/ormas pelaku kekerasan. Seolah mempertegas sebuah asumsi adanya keterkaitan antara kepolisian dengan kelompok-kelompok tersebut. Sehingga dengan sendirinya memperkuat dugaan keterkaitan ini yang menyebabkan aksi-aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok tersebut tidak pernah diusut tuntas oleh kepolisian.

Perlu ditambahkan di provinsi D.I.Yogyakarta, ada kelompok milisi sipil primodial yang juga melakukan kekerasan. FKPM Paksi Katon contohnya yang diketuai Muhammad Suhud. FKPM Paksi Katon merupakan organisasi yang mulai muncul semenjak ramainya isu pro-penetapan pada RUU Keistimewaan. Awal juli 2014 melakukan pembubaran paksa terhadap aksi demonstrasi yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP).

Bahkan dalam aksi mahasiswa Papua 15 Juli 2016, kelompok ini juga turut melakukan pengepungan asrama mahasiswa. Tujuannya menggagalkan aksi yang direncanakan oleh mahasiswa papua. Kelompok ini juga turut melemparkan kata-kata rasis dan stigma terhadap mahasiswa papua yang berada di dalam asrama.6 Aksi yang dilakukan oleh mahasiswa papua ini memang dalam beberapa kesempatan, membawa isu tuntutan kemerdekaan bagi rakyat papua. Walaupun membawa tuntutan seperti itu namun merupakan bagian dari kebebasan berpendapat. Terlebih mahasiswa papua sendiri merupakan representasi dari rakyat Papua di Yogyakarta.

Tindakan dari FKPM Paksi Katon yang membubarkan secara paksa ini jelas-jelas aksi kekerasan vigilante, mengambil alih wewenang penindakan yang dimiliki negara. “Jika memang aparat tidak mau bertindak tegas membubarkan aksi-aksi serupa, kami sebagai masyarakat tidak segan-segan untuk membubarkan meski dengan cara paksa,” ujar Muhamamad Suhud pada tribunnews.com pada 1 Juli 20147. Ucapan tersebut jelas merupakan bentuk ancaman, FKPM Paksi Katon beralasan bahwa mereka menilai aksi AMP sebagai separatis. Tindakan yang dilakukan mereka (Paksi Katon) sungguh kontra produktif dengan niatan menjaga keutuhan NKRI. Apabila ingin mempertahankan seharusnya peluang-peluang dialog yang dikedepankan, terlebih mahasiswa papua lebih mengerti kondisi objektif di papua, cukup alasan bagi mereka (AMP) punya tuntutan seperti itu.

Kemudian yang sangat disayangkan, munculnya aksi kekerasan vigilante ini dianggap sebagai kesalahan dari demokrasi itu sendiri. Terdapat kerancuan berpikir dalam memahami alam kehidupan demokrasi. Alam demokrasi yang dalam semangatnya ingin memberikan jaminan terhadap kebebasan terhadap setiap insan manusia tanpa memihak terhadap suku, agama, ras dan golongan tertentu hari ini disalah konsepsikan.

Beberapa peristiwa menunjukkan bahwa aksi-aksi kekerasan yang digawangi oleh kelompok-kelompok organ milisi sipil/ormas yang berbasis masa mayoritas dengan sengaja menggerus dan menindas minoritas dianggap sebagai perwujudan alam demokrasi.

Bagaimana tidak, kesesatan berpikir yang menjangkit hingga level pemerintahan yang justru menyalahkan kehidupan alam demokrasi yang membawa semangat kebebasan telah memberi kesempatan pihak-pihak yang berpandangan keras dan cenderung ekstrem untuk mengeksploitasi ruang demokrasi demi kepentingan mereka. Singkatnya, menurut pemerintah demokrasi bersalah karena memberi ruang untuk intoleransi.8 Ironis memang jika kekerasan yang dilakukan milisi sipil tidak diusut dengan tuntas, namun justru menyalahkan demokrasi. Menilai bahwa demokrasi lah yang memiliki andil munculnya aksi kekerasan vigilante.

Sebagai tambahan, kehidupan alam demokrasi yang tidak sehat di Yogyakarta membuat setiap penduduknya menjadi terkekang dan terhambat untuk berkembang. Bahaya laten dari terberangusnya demokrasi akan berdampak pada generasi penerus bangsa yang akan mengalami penyempitan pikiran. Alam demokrasi yang tidak sehat akan mendegradasi alam pikir manusia. Bagaimana seorang manusia dapat berpikir apabila sudah dihantui rasa takut apabila memiliki pemikiran yang berbeda dengan yang lain.

Hal tersebut juga dirasakan oleh beberapa seniman di Yogyakarta. Aksi-aksi kreatif berkesenian begitu dengan mudahnya di bubarkan di Yogyakarta. Sebagaimana telah terjadi aksi kreatif bertajuk kesenian “Lady Fast 2016” yang dibubarkan secara paksa oleh elemen ormas Front Umat Islam (FUI) dan Front Jihad Islam (FJI). Acara yang direncanakan akan diselengggarkan dua hari tanggal 2-3 April 2016 itu dibubarkan dengan cara kekerasan yang mendaku dirinya sebagai pemberantas kemaksiatan. Acara kesenian lain yang turut dibubarkan adalah Independent Art-Space and Management (I AM ART). I AM ART melangsungkan pameran seni bertajuk “Idola Remaja Nyeni”, yang diselenggarakan dari 19 Mei sampai 30 Mei 2016. Acara ini juga dibubarkan karena diduga memuat unsur pornografi dan menyebarkan LGBT.

Aksi kekerasan para kelompok milisi sipil/ormas (vigilante) tersebut mendapat kecaman dari sekelompok para akademisi perguruan tinggi di Yogyakarta yang tergabung dalam Forum Intelektual Anti Pemberangusan Kebebasan Akademik. Mereka menyayangkan adanya ormas atau kelompok yang melarang diskusi di sejumlah kampus. Bagi mereka, tindakan intoleransi oleh ormas telah membungkam hak di dalam pendidikan untuk menjalankan kegiatan.

Arie Sujito, sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) menyatakan,”Semua pihak musti menghormati kebebasan akademik yang sudah menjadi dasar kehidupan kampus sehari-hari. Tanpa landasan itu maka kampus akan kehilangan kekuatannya, baik sebagai lingkungan pendidikan maupun jaminan bagi hidupnya berbagai gagasan kritis.”9

Arie menjelaskan bahwa kampus tetap memiliki hak, bahkan keharusan untuk kritis pada berbagai persoalan yang terjadi. Sikap kritis itu, kata dia, bisa dalam kegiatan diskusi, kegiatan pers mahasiswa hingga kegiatan kuliah. Sebab, melalui budaya kritis itulah kampus dalam sejarahnya mengubah jalannya kehidupan berbangsa dari tradisi otoriter menjadi demokratis. Dalam pernyataanya Arie juga menegaskan bahwa kampus sebaiknya disterilkan dan dilindungi dari kegiatan yang mengarah pada kekerasan, penganiayaan, bahkan pembubaran kegiatan akademik.10

Negara Diam Terhadap Vigilante, Pelanggaran Terhadap Hak Asasi Manusia

Pada semua kasus aksi kekeran yang dilakukan oleh kelompok vigilante di Yogyakarta tak ada satupun yang sampai diseret ke pengadilan. Entah itu kasus kekerasan yang beratasnamakan agama, atau aksi kekerasan yang menyerang kelompok pro-demokrasi atau golongan minoritas lain. Gejala ini sekali lagi menggambarkan kemiripan untuk mengatakan bahwa fenomena vigilante di Yogyakarta tak jauh berbeda dengan vigilante yang ada dibelahan dunia lain. Mereka para pelaku kekerasan sangatlah yakin tak dihukum, mereka pun merasa superior terhadap korban seakan didukung oleh masyarakat, untuk aksi main hakim sendiri itu.

Tindakan main hakim sendiri yang sarat aksi kekerasan itu seakan merebut monopoli negara untuk dapat melakukan kekerasan. Dalam perspektif Max Weber hanya negaralah yang diberikan monopoli kekerasan untuk alasan menegakan ketertiban, terutama melalui aparatus penegak hukumnya yang bersifat represif. Padahal negara dalam hal melakukan kekerasan itu sangatlah dibatasi oleh hukum, yang mana guna melindungi kepentingan hak asasi manusia warga negara. Negara tak dibenarkan untuk melakukan tindakan secara sewenang-wenang. Hak asasi manusia jelas menjadi alasan untuk menghormati harkat dan martabat kemanusian.

Antonius Made Tony Supriatma memberi kesimpulan bahwa Negara sesungguhnya membutuhkan keberadaan mereka. Negara membutuhkannya untuk melakukan teror terhadap rakyatnya sendiri. alasannya, karena aparatus negara yang berfungsi melakukan teror pada masa otoriterisme Orde Baru, tidak bisa berfungsi pada jaman demokrasi prosedural ini. Kelompok- kelompok vigilante dibutuhkan untuk menyingkirkan ideologi perjuangan kelas, membungkam kelompok intelektual liberal, menghukum bida’ah, dan menegakkan ortodoksi. Hasil akhirnya adalak kelompok rakyat yang jinak (docile) dan konservatif .

Analisa diatas cukup masuk akal dan menjadi jawaban mengapa kemudian Negara seringkali absen saat terjadi berbagai rentetan aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok vigilante. Bahkan pada banyak peristiwa seringkali pihak kepolisian yang secara teknis ada ditempat kejadian terlihat tak mampu bernegosiasi dengan para kelompok vigilante, melindungi kepentingan hukum para korban. Seperti saat berbagai peristiwa pembubaran diskusi pihak kepolisian justru yang ikut mendesak para korban untuk menghentikan acara, dan bukannya melindungi serta meminta kelompok vigilante yang membubarkan diri. Saat setelah terjadi aksi pihak kepolisian yang juga sering kali menyalahkan para korban dengan mengatakan, acara kegiatan tak ada izin dari kepolisian. Semua dibolak-balik, alih-alih segera melindungi korban malah mencari-cari celah kesalahan korban.

Lebih jauh dan berani lagi Antonius Made Tony Supriatma mengatakan kelompok vigilante sebagai kepanjangan tangan aparatus keamanan negara yang tidak bisa melakukan fungsi-fungsi represinya karena dihambat oleh aturan-aturan demokrasi prosedural . Demokrasi prosedural yang dimaksud disini bahwa dalam babakan sejarah kehidupan bangsa indonesia yang sangat memberi ruang pada masyarakat sipil pada wilayah partisipasi (khususnya lewat jalur perlementer – parpol) dan standar ketat aturan hak asasi manusia, sehingga tidak memberi ruang dan alasan bagi negara dengan “seragam” resminya melakukan intervensi malalui aparat secara berlebihan. Berbeda dengan saat orde baru, ruang partisipasi dibungkam dan hak asasi manusia masih menjadi sesuatu yang tabu untuk standar evaluasi negara.

Sudah banyak peristiwa menunjukan bahwa kelompok-kelompok vigilante baik itu yang berbasis identitas keagamaan, primordial ataupun ideologi negara, ataupun afiliasi militer, sering kali melakukan aksi kekerasan terhadap kelompok masyarakat minoritas. Baik itu minoritas dalam hal identitas yang jumlahnya sedikit ataupun mayoritas secara jumlah, tetapi kesemuanya tak berdaya untuk mempengaruhi kekuasaan. Kelompok minoritas ini dalam kondisi terpinggirkan atau termarginal, baik itu yang memiliki identitas sosial berbeda (agama/keyakinan, orientasi seksual, etnis, ras) dan juga kelas ekonomi seperti buruh dan petani.

Keberadaan kelompok vigilante ini menyuburkan perlakuan diskriminasi terhadap hak asasi manusia kelompok minoritas. Sebagai referensi untuk memahami pengertian apa itu diskriminasi, kita bisa meminjam beberapa pengertian teknis diskriminasi menurut beberepa instrumen hukum, baik yang internasional ataupun nasional. Menurut Konvensi International tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, menyebut bahwa diskriminasi rasial diartikan sebagai: “segala bentuk perbedaan, pengecualian, pembatasan atau pilihan yang berdasarkan pada ras, warna kulit, keturunan, atau asal negara atau bangsa yang memiliki tujuan atau pengaruh menghilangkan atau merusak pengakuan, kesenangan atau pelaksanaan, pada dasar persamaan, hak asasi manusia dan kebebasan yang hakiki di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan bidang lain dari kehidupan masyarakat”.

Sedangkan UU No 39 tahun 1999 tentang HAM menyatakan, diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan atau pengucilan yang langsung atau tak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya dan aspek kehidupan lainnya.

Keengganan Negara untuk mencegah aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok vigilante terhadap minoritas agama atau mengadili mereka yang bertanggung jawab menjadikan Negara bertanggungjawab terhadap kekerasan yang berulang-ulang. Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyatakan, dalam Komentar umum Kovenan Sipil dan politik Nomor 31, tentang kewajiban negara, bahwa kegagalan untuk mengambil langkah-langkah yang pantas atau mengambil tindakan guna mencegah, menghukum, menyelidiki, atau mengganti rugi kerusakan yang ditimbulkan oleh orang perseorangan atau kelompok” di mana hak-hak asasi manusia yang diatur Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik dapat dianggap sebagai pelanggaran oleh negara. Selanjutnya dalam Komentar umum nomor 246 Selain itu, ketika hak-hak dilanggar, negara “harus menjamin pelakunya diadili. Jika terjadi kegagalan menyelidiki, kegagalan mengadili para pelaku kejahatan semacam itu ke pengadilan, bisa dengan sendirinya jadi pelanggaran terhadap Kovenan.

1 http://yogyakarta.bps.go.id/index.php, diakses 15 November 2016

3 Ibid.

4 Cho Youn Mee, Sjafri Sairin dan Irwan Abdullah, artikel “Tatanan Sosial: Sebuah Usulan Kerangka Analisis Kekerasan Dari Kasus Amerika, Afrika, Dan Indonesia”. Jurnal Ilmiah Humaniora Volume 17, No. 1, Februari 2005.

5 Ibid.

7 Lihat artikel berita “Paksi Katon bubarkan Aksi Mahasiswa Papua” , Rabu, 17 Desember 2014 pada : http://jogja.tribunnews.com/2014/07/01/paksi-katon-bubarkan-aksi-mahasiswa-papua/

8 Lihat http://nasional.kompas.com/read/2012/05/30/02030461/Toleransi.atas.Intoleransi

9 Lihat http://m.metrotvnews.com/jateng/peristiwa/yNL8dJaN-kampus-dibungkam-akademisi-harus-melawan

10 Ibid.