Rencana Pembangunan Bandara Untuk Kepentingan Siapa?

road-sign-1280245_960_720

Oleh : Rizky Fatahillah

Rencana Pembangunan Bandara dan Kepentingan Bisnis MICE dalam Industri Pariwisata

Jangan heran jika hari-hari ini begitu banyak pembangunan Hotel Berbintang, Mall dan Apartemen, khususnya di daerah Sleman dan Kota Yogyakarta. Lebih-lebih jika rencana Bandara Baru Kulon Progo benar-benar terealisasi. Bukan hanya wilayah Kota dan Sleman yang akan mengalaminya, tetapi wilayah seperti Bantul dan Kulon Progo juga akan mengalaminya. Perubahan kawasan dengan banyaknya pembangunan industri properti dan jasa pendukung industri bisnis pariwisata akan mulai masuk akibat rencana pembangunan bandara baru.

Seperti yang selalu digadang-gadang oleh berbagai pejabat, salah satunya Mirza Adityaswara Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia pada (KR -16/11/2015) meng-klaim untuk pertumbuhan ekonomi D.I Yogyakarta masih bisa dikembangkan lagi dengan meniru Provinsi Bali. Ia menjelaskan Yogyakarta saat ini tingkat pertumbuhannya dibawah 5,3 persen di bawah Bali. Menurutnya jumlah kunjungan wisata ke Yogyakarta potensial dapat di tingkatkan, namun semuanya tergantung sarana dan prasarana pendukung. Salah Satunya yang bisa mendukung adalah infrastuktur Bandara Baru, Kulon Progo dan Bantul yang hijau karena pertanian, berubah karena konversi lahan akibat efek rencana pembangunan ini.

Industri pariwisata, diklaim sudah menjadi salah satu basis ekonomi utama D.I Yogyakarta yang menyumbang pendapatan daerah dan memberi devisa. Industri ini di banyak tempat dan termasuk D.I Yogyakarta menjual bisnis MICE yang banyak mendorong perubahan kawasan untuk pembuatan tempat pariwisata baru dan juga industri jasa pariwisata. Bisnis MICE sudah ditetapkan dalam Perda D.I Yogyakarta No. 6 tahun 2013 tentang Rencana Pempangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), daerah ini memang mengakui sangat bergantung dengan bisnis ini. Perda RPJMD D.I Yogyakarta ini sendiri juga lahir pada tahun 2013, menjadi penjabaran lebih lanjut kebijakan MP3EI yang sudah menetapkan D.I Yogyakarta basis potensi industri di sektor pariwisata. Kebijakan nasional yang banyak dikritik menimbulkan persoalan HAM, karena terjadi penyingkiran ruang kehidupan sosial ekonomi dimana-mana.

Apa bisnis MICE itu sendiri? M. Agus Priyadi dalam artikel jurnal “Bisnis MICE SebagaiPotensi Unggulan Pariwisata Di Yogyakarta” memberi penjelasan MICE adalah singkatan dari Meeting, Insentive, Convention dan Exibition, Keempat jenis kegiatan kepariwisataan ini merupakan usaha untuk memberi jasa pelayanan bagi suatu pertemuan sekelompok orang, khususnya para pelaku bisnis, cendekiawan, eksekutif pemerintah dan swasta, untuk membahas berbagai persoalan yang berkaitan dengan kepentingan bersama, termasuk memamerkan produk-produk bisnis.

Agus Priyadi merinci lagi yang dimaksud dengan MICE : 1)Meeting, merupakan rapat atau pertemuan sekelompok orang yang tergabung dalam sebuah asosiasi, dimanaperusahaan yang mempunyai kesamaan minat dengan tujuan dan kepentingan membahas suatu permasalahan bersama. 2)Incentive mengacu pada perjalanan insentif yang merupakan suatu kegiatan perjalanan yang diselenggarakan oleh suatu perusahaan untuk karyawan dan mitra usaha sebagai imbalan penghargaan atas prestasi mereka yang berkaitan dengan penyelengaraan konvensi yang membahas perkembangan kegiatan perusahaan yang bersangkutan dan/atau kegiatan pameran. 3)Convention, yaitu pertemuan sekelompok orang (negarawan, usahawan, cendekiawan, profesional dan sebagainya) untuk membahas masalah yang berkaitan dengan kepentingan bersama, biasanya dengan jumlah peserta banyak. 4)Exhibition, yaitu bentuk kegiatan mempertunjukkan, memperagakan, memperkenalkan, mempromosikan, dan menyebarluaskan informasi hasil produksi barang atau jasa maupun informasi visual di suatu tempat tertentu dalam jangka waktu tertentu untuk disaksikan langsung oleh masyarakat dalam meningkatkan penjualan, memperluas pasar dan mencari hubungan dagang.

Bisnis MICE tentu tidak dapat dilepaskan dari mata rantai Industri Pariwisata, salah satunya adalah jasa penginapan atau hotel, juga properti seperti apartemen yang bisa disewakan terlebih untuk orang asing. Inilah salah satu alasan penyebab tingkat angka pertumbuhan Hotel berbintang dan Apartemen di Yogyakarta begitu meningkat dastris, hingga dalam perjalanannya menimbulkan reaksi protes dari kelas menengah karena berefek terhadap lingkungan hidup dan sosial.

Selain itu bisnis Retail Pasar Modern pun menjadi salah satu mata rantai penyokong industri pariwisata. Salah satu alasannya karena Pasar Modern dianggap sebagai tempat dijualnya kebutuhan-kebutuhan barang konsumsi dari wisatawan asing dan luar daerah. Itulah mengapa hari ini wacana mengenai pendirian Mall di beberapa daerah selain Kota Yogyakarta dan Sleman, seperti Bantul misalnya yang sudah mulai mewacanakan isu pembangunan Mall dan Hotel, hal ini terjadi karena Bupati Bantul Suharsono terpilih untuk tahun 2016-2021, sangat sadar menangkap peluang memberi kesempatan investasi pembangunan Hotel dan Mall untuk mendukung bisnis MICE.

Pembangunan Bandara dan Persoalan Keadilan Ruang

Rencana pembangunan bandara baru bukan hanya merupakan entitas infrastruktur transportasi, tempat pendaratan dan pemberangkatan pesawat, namun juga terkait erat dengan aktifitas ekonomi baik itu dalam kawasan bandara, sepanjang koridor yang menghubungkan kota layanan dengan bandara, maupun kawasan luar bandara. Hal ini yang kemudian disebut dengan pendekatan pembentukan kawasan pengembangan bandara dengan nama “airport city”, “airport coridor” dan “airport polis”.

Secara konsep, menurut Guller (2003) Airport City ini sudah diperkenalkan di Amerika Serikat pada tahun 1970-an yang saat itu merujuk pada lokasi Industri dan Bisnis yang dekat dengan kawasan bandara. Selain itu juga Poungias (2009) mendefinisikan Airport City sebagai multifungsi dari Aglomerasi bisnis dan properti dari bandara, biasanya termasuk wilayah perkantoran, pusat perbelanjaan, gedung konfrensi dan pameran, kompleks hiburan dan kesehatan, serta layanan kargo dan logistik.

LBH Yogyakarta berpendapat bahwa kondisi D.I Yogyakarta bukanlah wilayah dengan keberadaan Industri besar perdagangan dan manufaktur sebagaimana diwilayah utara Pulau Jawa. Rencana Bandara baru dengan demikian hanyalah akan lebih banyak melayani pergerakan orang baik nasional atau internasional, terutama dengan tujuan perdagangan dan jasa. Terlebih D.I Yogyakarta sangat bergantung dengan Industri Pariwisata. Selain itu, karakteristik Yogyakarta sebagai wilayah tempat tinggal idaman memicu banyak pendatang untuk bertempat tinggal diwilayah karena tidak terlalu padat seperti kota besar lainnya dan juga karena ingin punya akses dekat ke lokasi wisata.

Rencana pembangunan bandara baru seperti dipaksakan, terlebih tidak pernah disebutkan pembangunan bandara Kulon Progo dalam PP No 26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Nasional, Pepres No 28 tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Pulau Jawa-Bali dan Perda No 2 tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DIY. Padahal tata ruang berfungsi sebagai pedoman yuridis pengendalian pemanfaatan ruang dan pembangunan nasional. Seperti diketahui rencana Bandara baru hanya amanat dari Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI), satu paket sebagai infrastruktur pengembangan kawasan daerah D.I Yogyakarta yang didorong sebagai basis Industri Pariwisata.

Mengamati pemberitaan di beberapa media dari mulai bulan November 2015 sampai dengan sekarang, pasca kekalahan warga WTT di tahapan kasasi untuk sengketa TUN terkait Ijin Penetapan Lokasi,  gejala pergerakan para investor menangkap peluang untuk melakukan pembangunan industri properti dan jasa pariwisata diwilayah Wates sekitar rencana bandara baru sudah mulai terjadi.

Seperti yang dikatakan Ketua Perkumpulan Hotel dan Restauran Indonesia (PHRI) D.I.Yogyakarta Istijab Danu mengatakan siap mengisi slot di Airport City. Pihaknya akan berfokus membangun hotel dan restaurant di sekitar kawasan tersebut.”Seperti rencana di dalam airport city akan ada hotel, restaurant, dan pusat perbelanjaan. Kami akan coba menangkap peluang itu,” kata Istijab (Metrotvnews – 18/11/2015).

Selain itu seperti yang disampaikan oleh Agung Kurniawan S.IP., M. Si Kepala Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu (BPMPT) pada ( KR -16/11/15), “Yang banyak diminati investor untuk perumahan adalah pinggir kota Wates seperti Giripeni Wates, Margosari Pengasih, juga Kedungsari. Sedangkan untuk kawasan Industri Sentolo, ada di Banguncipto Sentolo.”Bahkan lanjut agus terkait dengan Industri di kawasan Sentolo ia menyatakan terus berdatangan. Terkait dengan pelepasan lahannya sendiri ia hanya mempersilahkan kepada pihak Investor berurusan dengan pemilik lahannya.

Agung Kurniawan juga manambahkan pada (Harian Jogja -17/5/16) banyak investor properti yang mulai melirik Pengasih, Sentolo dan Wates untuk dijadikan kawasan perspektif alternatif hunian baru di Kulonprogo. Daya tarik megaproyek juga menjadi salah satu magnet bagi perhotelan untuk mengembangkan di kawasan strategis di dekat calon bandara baru. Saat ini sudah ada dua perusahaan perhotelan yang sudah menyiapkan lahan dan siap dibangun hotel untuk menyambut bandara baru DIY. “Ada dua perusahaan perhotelan, dari dalam negeri dan luar negeri. Lokasi yang dipilih tidak jauh dari rencana pembangunan bandara dan saat ini sedang meminta tata ruang,” imbuh Susilo Kasubid Pelayanan Perizinan BPMPT Kulon Progo.

Seperti kita tau di wilayah Kulon Progo sendiri belum ada Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten, tentu sangatlah mengkhawatirkan bagaimana kemudian dengan penatagunaan tanah dan pemanfaatan ruang. Belajar dari daerah-daerah lainya seperti Kota Yogyakarta dan Sleman, Pembangunan Hotel dan Apartemen yang tak terkendali menyebabkan banyaknya konflik sosial antara pengembang dan warga sekitar. Akibat hasrat investasi efek pembangunan bandara baru, sangat mungkin trend konflik perebutan ruang terjadi jugabkarena masifnya industri properti di Kulon Progo, terlebih wilayah Kulon Progo masih lebih agraris di banding Kota Yogyakarta dan Sleman.

Bahkan daerah yang cukup jauh dari lokasi bandara baru Kulon Progo seperti Bantul, sudah menangkap peluang investasi akibat rencana pembangunan bandara yang satu jalur arah dengan JJLS (Jalur Jawa Lintas Selatan). Seperti yang sempat diwacanakan oleh Bupati Suharsono terkait rencana pembangunan hotel berbintang di lokasi Pantai Parangtritis yang sempat diprotes penolakan warga yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Menolak Penggusuran (ARMP). Ambisi dari Bupati Soharsono ini seperti dikatakannya pada (Harian Jogja – 29/2/2016) kawasan pantai Parangtritis dan Parangkusumo terkait dengan pembangunan hotel berbintang, ia bermimpi menjadikan kawasan Parangtritis seperti Bali.

Sudah jelas bahwa rencana pembangunan bandara baru Kulon Progo, hanyalah menguntungkan pihak Investor dibidang Industri properti dan jasa pariwisata yang membangun Hotel dan Apartemen, sebagai bagian mata rantai bisnis MICE. Rencana bandara baru tak menguntungkan sama sekali bagi petani tergusur. Bahkan akibat dari investasi ini beresiko menimbulkan penggusuran lainnya dan juga kerusakan lingkungan dan sosial.

Keuntungan Bisnis MICE Lebih Banyak Lari Kemana?

Industri Pariwisata yang menjual bisnis MICE, serta ingin semakin digenjot dengan Pembangunan Bandara Internasional di Kulon Progo, dalam banyak kasus menimbulkan persoalan. Persoalan yang muncul adalah persoalan keuntungan dari proses mata rantai bisnis. Salah satunya dana wisatawan yang lari ke luar negara atau daerah bersangkutan. Fenomena ini disebut leakege. Ini menjadi dampak negatif pariwisata. Sebuah studi tentang leakage di Thailand memperkirakan bahwa 70% uang yang digunakan oleh para turis akhirnya mengalir ke luar negeri melalui agen wisata luar negeri, hotel, makanan dan minuman yang diimpor, dan sebagainya. Sebagai sebuah gambaran efek makro disebuah negara, dari 100 USD yang digunakan turis untuk berwisata di negara berkembang, hanya sekitar 5 USD saja yang benar-benar dapat dimanfaatkan oleh negara bersangkutan.

Leakage terbagi lagi menjadi import leakage dan export leakage.Import leakage terjadi akibat produk-produk yang diimpor dari luar negeri untuk memenuhi kebutuhan standar turis internasional. Terutama di negara berkembang, biasanya peralatan, makanan, dan minuman harus diimpor dari luar negeri karena negara bersangkutan tidak memiliki industri untuk menyediakan kebutuhan-kebutuhan tersebut.

Menurut UNCTAD, rata-rata nilai import leakage di kebanyakan negara berkembang sejumlah 40-50% dan sekitar 10-20% jumlahnya untuk negara maju.Sedangkan export leakage terjadi karena pengambilan kembali keuntungan oleh investor asing yang bergerak di bidang jasa pariwisata. Hal seperti ini dimungkinkan karena banyak infrastrukturpenunjang pariwisata (hotel misalnya) di daerah pariwisata disediakan oleh investor asing atau dari luar daerah akibat keterbatasan sumber daya ekonomi.

Jumlah export leakage sebagai dampak negatif pariwisata ini sebenarnya cukup tinggi juga. Studi PBB pada 1996 menyatakan jumlahnya cukup signifikan. Sebagai contoh negara St. Lucia memiliki nilai export leakage sebesar 56%, Jamaika 40%, dan Aruba 41%.

Melihat Perencanaan Pembangunan Bandara Kulon Progo beserta efeknya yang dinikmati oleh Industri properti dan jasa pariwisata dengan bisnis MICE, sepertinya pihak Pemda D.I Yogyakarta tidak belajar membaca survai BPS D.I Yogyakarta tahun 2015, yang menyatakan kesenjangan ekonomi D.I Yogyakarta masih Tinggi. Bambang Kristianto Kepala BPS DIY pada Tempo (12/12/15) mengatakan rasio gini atau indikator yang menunjukkan tingkat ketimpangan di Yogyakarta tahun 2014 tercatat tidak banyak bergeser dari tahun 2013. Rasio gini pada 2013 mencapai 0,44 dan 0,42 pada 2014. Ia menambahkan pertumbuhan ekonomi lebih banyak menguntungkan kelas menengah ke atas yang berjumlah 20 persen atau 720 ribu dari total penduduk Yogyakarta tahun 2014 sebanyak 3,6 juta orang. Investor tertarik membangun investasi pada sektor bisnis, seperti hotel dan mal. “Pemilik modal besar paling menikmati pertumbuhan ekonomi. Kesenjangan ekonomi tergolong tinggi”.