Negara dan Masyarakat: “Pluralisme Agama vs Kesatuan Indonesia”

photo-1453412324657-958beaf0ef12

Oleh : Ikram Ladjima

Tidak ada satu agama yang menjadi agama resmi negara, serta tidak hanya satu agama yang menjadi sumber hukum dan sumber moral suatu negara.”

Indonesia adalah Negara pluralistik dengan beraneka ragam agama, budaya, adat, etnis, suku, bahasa dan banyak lainnya. Pluralisme tersebut terbingkai dalam bentuk negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berlandaskan nilai-nilai falsafah pancasila yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945 Alinea IV. Sebagai Ideologi Negara Indonesia, Pancasila menjadi pedoman dasar negara Indonesia dalam mengatur tatanan kehidupan masyarakatnya. Secara filosofis, Pancasila dengan semboyan ”Bhineka Tunggal Ika” menjadi kekuatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagai jati diri yang asli dan yang lahir dari pemikiran-pemikiran masyarakat Indonesia. Secara yuridis, pancasila sebagai norma dasar “staat fundamental norms” atau norma dasar negara dalam menciptakan norma-norma atau aturan baru untuk mengatur dan mengayomi kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara sosiologis, dengan melihat sosio-politik bangsa Indonesia yang sejatinya beragam tetapi tetap pada sifat yang toleran, gotong royong, santun dan musyawarah mufakat.

Namun saat ini nilai-nilai dan falsafah pancasila itu seolah-olah telah pudar bahkan mulai hilang dari dalam jati diri masyarakat Indonesia. Hal itu bisa tercermin dari munculnya kasus intoleran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Sebagai negara Indonesia dengan semboyan Kebhinekaannya dan Pancasila sebagai pedomannya, adanya keberagaman agama dan kepercayaan yang dianut rakyatnya diharapkan tidak sampai merusak persaudaraan sesama bangsa dan tetap mampu hidup saling toleransi dan berdampingan serta mendapat pengakuan dan jaminan adanya hidup yang menimbulkan rasa aman dan tentram dalam kehidupan sehari-hari.

Hak Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan merupakan hak yang tidak dapat dikurangi atau dibatasi dalam keadaan apapun (non derogable rights) dan dijamin dalam instrumen HAM Internasional dan peraturan perundang-undangan nasional dan merupakan salah satu komponen HAM yang mendasar dan menjadi isu yang terus diperjuangkan penghormatan dan pemenuhannya. Namun saat ini penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan hak KBB di Indonesia situasi dan kondisinya sangat memprihatinkan, kondisi ini dapat dibuktikan dari berbagai survey yang dilakukan beberapa lembaga nasional maupun internasional, salah satunya yaitu oleh Setara Institute yang memantau dan mengkritisi pemenuhan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Selama 8 tahun pemantauan, Setara mencatat sejak 2007-2014 telah terjadi 2.268 tindakan dari 1.680 peristiwa pelanggaran KBB, terakhir pada tahun 2014 telah terjadi 134 peristiwa pelanggaran.1

Pelanggaran Hak KBB juga bisa diadukan ke lembaga negara yang memiliki kewenangan memantau, mempromosikan, dan menyelidiki pelanggaran HAM, yaitu Komnas HAM. Terakhir, pada tahun 2014 Komnas HAM menerima pengaduan sebanyak 67 pengaduan. Komnas HAM juga memantau kebijakan-kebijakan diskriminatif, yang hasilnya sampai dengan Oktober 2015 terdapat 389 kasus kebijakan diskriminatif yang 322 diantaranya berdampak langsung pada kehidupan perempuan. Beberapa jenis kebijakan diskriminatif diantaranya yaitu 138 kebijakan mengkriminalisasi perempuan, 30 kebijakan mengatur ruang dan relasi personal, 100 kebijakan pemaksaan busana, 39 pengaturan jam malam, 15 mengatur pembatasan mobilitas perempuan, dan 54 diantaranya membatasi jaminan kebebasan hidup beragama warga negara. Aksi anarkhisme kelompok intoleran pada kelompok minoritas agama menjadi terlegitimasi karena adanya kebijakan atas tindakan intoleransi tersebut. Bahkan pemaksaan menjalankan keyakinan kelompok tertentu atau justru pelarangan atas keyakinan yang dianut, sehingga terjadi pengusiran, berdampak pada ketidakpastian hukum, pemiskinan dan konflik sosial.2

Sedang di tingkat internasional, Human Rights Watch , organisasi hak asasi manusia yang melakukan pengawasan pelaksanaan HAM dalam laporannya menyampaikan bahwa sejak tahun 2004 terdapat lima peraturan perundang-undangan dan kebijakan penting di tingkat nasionanl yang melanggar hak KBB. Dengan demikian, Freedom House, organisasi nonpemerintah terkemuka dari AS yang melakukan penelitian dan advokasi di bidang demokrasi, kemerdekaan politik, dan HAM, menilai Indonesia masuk dalam daftar “negara-negara di persimpangan jalan”, dan mengklasifikasikan Indonesia sebagai “negara separuh bebas” dengan rating kebebasan sipil di Indonesia terpuruk dari 3 menjadi 4. Berdasarkan situasi KBB diatas, dalam sidang Komite HAM PBB menyatakan keprihatinannya terhadap kegagalan pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan kepada warganya dari berbagai kekerasan berdasarkan kebencian agama. Terhadap kesimpulan diatas, Ketua Komnas HAM Siti Noor Laila membenarkan negara tidak hadir dalam peristiwa intoleransi terhadap kelompok-kelompok minoritas.

Indikasi negara melakukan pembiaran terhadap berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan satu kelompok tertentu terhadap kelompok lain dan upaya hukum terhadap pelaku terlambat, diidentifikasikan Kontras dan Solidaritas Perempuan, sebagai faktor-faktor mendasar timbulnya kekerasan dan beragam bentuk pelanggaran HAM terhadap kelompok agama dan keyakinan Indonesia.3 Faktor pertama yaitu negara dalam hal ini pemerintah tidak pernah tampil sebagai satu kesatuan yang utuh ketika berhadapan dengan isu pelanggaran hak KBB, padahal pemerintah cukup baik dalam mempromosikan HAM, misal dengan meratifikasi instrumen hukum HAM internasional untuk memperkuat hukum nasional. Namun disisi lain, pemerintah terus memproduksi kebijakan-kebijakan yang diskriminatif dalam hal kebebasan beragama dan berkeyakinan. Faktor kedua, alat negara dalam hal ini kepolisian yang seharusnya tampil di garda terdepan dalam memberi jaminan perlindungan, justru melakukan pembiaran ketika masa intoleran melakukan serangan, serangan, kekerasan, pembunuhan dan beragam bentuk pelanggaran HAM lainnya terhadap kelompok agama dan keyakinan yang dianggap sesat atau illegal, serta tidak ada proses hukum yang memadai, baik terhadap massa intoleran maupun anggota POLRI yang diduga melakukan pelanggaran hukum dan HAM.

Misal saja kita ambil contoh Kota Yogyakarta yang dinobatkan sebagai city of tolerance pada tahun 2008. Dan dalam menanggapi pelaksanaan Konferensi Biksuni Seluruh Dunia tahun 2015, Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengatakan bahwa : “Penghargaan bagi Yogya dipilih sebagi tempat konferensi. Ini mengukuhkan Yogya sebagai City of Tolerance,” .4 Pada tahun 2014, Secara khusus Sultan Hamengkubuwono IX sebagai Gubernur DI Yogyakarta memperoleh penghargaan Award Pluralis dari Jaringan Antariman Indonesia karena kemampuannya merawat perbedaan di wilayahnya dengan cara menolak saat warganya menuntut agar dibuat suatu peraturan pelarangan aliran Ahmadiyah dan Suni di wilayahnya.5 Akan tetapi, Wahid Institute berdasarkan hasil pemantauan peristiwa kekerasan dan intoleransi sepanjang tahun 2014 menempatkan Yogyakarta justru pada peringkat kedua kota intoleran di Indonesia.6 Perbedaan yang sangat berkebalikan ini tentu tidak terlepas dari peristiwa intoleransi dan kekerasan atas nama agama yang terjadi. Dan peristiwa intoleransi tidak dapat dilepaskan dari latar belakang masyarakat dan keadaan setiap lingkungan Yogyakarta yang berbeda-beda.

Meskipun berbagai peristiwa intoleransi di Yogyakarta marak terjadi di beberapa tahun terakhir ini dan juga hasil dari riset The Wahid Institute pada tahun 2014 yang mana menetapkan D.I.Yogyakarta berada pada peringkat kedua wilayah tertinggi dalam pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan di seluruh Indonesia. Hal ini pun tidak dipungkiri oleh masyarakat Yogya. Melihat kondisi yang sedemikian rupa maka berbagai pihak, baik individu maupun kelompok mencoba membangun upaya-upaya untuk menjaga keberagaman di wilayah DIY. Upaya untuk menjaga keberagaman ditunjukan secara variatif, baik melalui kekuatan masyarakat sipil, nilai, program dan kebijakan. Meski dari beberapa hal tersebut ada yang terlaksana dan tidak. Meskipun hasilnya belum mampu menetralkan tindakan intoleran, tetapi telah mampu menunjukan adanya upaya menjaga keberagaman dalam status Yogyakarta sebagai kota toleransi.7

Memang Hak KBB termasuk hak yang tidak dapat dibatasi atau dikurangi dalam kondisi apapun, namun tidak semua aspek hak KBB berada dalam wilayah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Pasal 28 J UUD 1945, dan Pasal 18 (3) Kovenan Hak Sipil dan Politik menyatakan bahwa forum internum tidak boleh dibatasi tanpa pengecualian, sementara wilayah “menjalankan” atau manifestasi dari hak dan kebebasan beragama dan berkeyakinan (forum externum) dapat dibatasi. Namun pembatasan itu sendiri harus didasarkan dalam sebuah peraturan sebagai norma publik yang memungkinkan publik dapat berpartisipasi dalam membentuk dan mengawasi pelaksanaannya, dilakukan dengan tetap pula memenuhi asas keperluan dan proporsionalitas. Dalam pembatasan tidak boleh diterapkan untuk tujuan diskriminatif atau dengan cara yang diskriminatif.8

Upaya untuk menjaga keberagaman seyogyanya menjadi tanggungjawab bersama warga negara Indonesia sebagai wujud implementasi semboyan Bhineka Tunggal Ika. Perlu ada semangat dari masyarakat sipil semua golongan dan semua aspek untuk menyerukan perlawanan terhadap pelanggaran Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan yang telah terjadi secara masif baik secara terang-terangan maupun lewat media lain yang lebih halus. Kekuatan masyarakat sipil untuk bersama melawan pelanggaran tersebut setidaknya memberi bukti bahwa masih banyak yang peduli untuk menciptakan negara Indonesia yang nyaman dan tenteram bagi semua umat beragama. Hal tersebut bisa dilakukan dengan melakukan gerakan-gerakan untuk melakukan advokasi dan kampanye yang menyerukan perlawanan terhadap kekerasan dan pelanggaran terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan. Serta menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila yang mampu menyatukan semua umat dalam sebuah tatanan masyarakat yang menjunjung tinggi toleransi dan kerukunan hidup.

Peran pemerintah dari pusat sampai daerah serta pun sangat penting untuk menekan semakin maraknya pelanggaran KBB yang terjadi. Dengan masyarakat mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan yang mampu mengayomi semua umat beragama tanpa adanya diskriminasi dan keberpihakan pada satu pihak serta tidak adanya pembiaran dari pemerintah, hal itu akan semakin menekan tinggi pelanggaran KBB. Adanya ketegasan aparat penegak hukum dengan cara menuntaskan kasus pelanggaran terhadap KBB dan menindak dengan adil para pelakunya, akan membuat masyarakat merasa aman dan terlindungi tanpa perlu khawatir akan terjadinya lagi pembiaran pelanggaran KBB. Tentu hal itu bisa terwujud bila semua elemen mau bergerak atau ada Political Will untuk membenahi negara Indonesia lebih baik lagi.

Referensi :

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia: Wajah Buram Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Tiga Provinsi (Pemantauan Peristiwa Pelanggaran Hak KBB di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan D.I.Yogyakarta). Jakarta, 2016. YLBHI. Hlm. 2.

2 Ibid. Hlm 5.

3 Ibid. Hlm 7.

4Sumber :http://news.liputan6.com/read/2258153/wanita-buddhis-dari-40-negara-kumpul-di-yogya., diakses tanggal 16/3/16, (15:20)

5Sumber :http://sp.beritasatu.com/home/tiga-kepala-daerah-dapat-anugrah-pluralis/56061., diakses tanggal 16/3/16, (17:41)

6Baca : Laporan The Wahit Institute, Tahun 2014., Hal 6

7 Lbh Yogyakarta: “Mengembalikan Yogyakarta Kota Tolerean”. Yogyakarta, 2016. LBH Yogyakarta. Hlm. 16.

8 Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia: Wajah Buram Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan di Tiga Provinsi (Pemantauan Peristiwa Pelanggaran Hak KBB di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan D.I.Yogyakarta). Jakarta, 2016. YLBHI. Hlm. 24.