Master Plan Percepatan dan Perluasan Eksploitasi-Buruh di Indonesia

DSC00177

Oleh: Britha Mahanani

“Berdasarkan hitungan statistik yang dilakukan oleh BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia per September 2015 mencapai 28,51 juta orang, jumlah ini bertambah 780 ribu orang dibanding September 2014 sebanyak 27,73 juta orang. Untuk menentukan kategori penduduk miskin, BPS menggunakan garis kemiskinan sebesar Rp. 344.809 per kapita per bulan per bulan September 2015 untuk menentukan jumlah penduduk miskin Indonesia di tahun 2015 ini.”

Dua puluh persen (20%) lebih penduduk Indonesia bekerja sebagai buruh. Jumlah ini memang masih dibawah jumlah penduduk bermatapencaharian sebagai petani  yang mencapai angka 60% dari keseluruhan penduduk Indonesia. Namun, jumlah angkatan kerja setiap tahun meningkat sejalan dengan menjamurnya proyek-proyek pembangunan dan loyalitasnya negara terhadap investor sehingga tak pernah jenuh memberikan kemudahan ini dan itu agar para investor ini menanamkan investasinya di Indonesia.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) yang dirilis akhir tahun 2015 lalu, angkatan kerja Indonesia pada Februari 2015 sebanyak 128,3 juta orang, bertambah sebanyak 6,4 juta orang dibanding Agustus 2014 atau bertambah sebanyak 3,0 juta orang dibanding Februari 2014. Penduduk bekerja pada Februari 2015 sebanyak 120,8 juta orang, bertambah 6,2 juta orang dibanding keadaan Agustus 2014 atau bertambah 2,7 juta orang dibanding keadaan Februari 2014. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2015 sebesar 5,81 persen menurun dibanding TPT Agustus 2014 (5,94 persen).

Selama satu tahun terakhir (Februari 2014–Februari 2015) kenaikan penyerapan tenaga kerja terjadi terutama di Sektor Industri sebanyak 1,0 juta orang (6,43 persen), Sektor Jasa Kemasyarakatan sebanyak 930 ribu orang (5,03 persen), dan Sektor Perdagangan sebanyak 840 ribu orang (3,25 persen). Dari jumlah kenaikan angka angkatan kerja sektor industri dan jasa penyumbang terbanyak angka penyerapan tenaga kerja.

            Peningkatan jumlah serapan tenaga kerja memang sejalan dengan usaha Pemerintah yang sudah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang diharapkan bisa menarik investasi dan membuka lapangan pekerjaan. Pemerintah memberi banyak insentif bagi penanaman modal, salah satunya kemudahan berinvestasi di kawasan industri. Sekilas usaha Pemerintah menarik investor dan mengurangi angka pengangguran di Indonesia cukup berhasil terbukti dengan meningkatnya angka angkatan kerja di tahun 2015.

Akan tetapi apakah meningkatnya angka angkatan kerja berarti  angka kemiskinan di Indonesia juga berhasil ditekan? Kenyataannya meski rakyat kerap mendengar ‘berita baik’ tentang pertumbuhan ekonomi yang positif, tentang meningkatnya jumlah penduduk yang bekerja tetap saja rezim tak pernah mampu mengubah fakta angka kemiskinan di Indonesia. Kesimpulannya, tak pernah beranjak ke angka yang lebih menggembirakan. Tahun 2015, konon disebut tahun Kambing Kayu yang katanya mendatangkan keberuntungan dan kemakmuran, telah berlalu. Namun di tahun yang baru ini, tampaknya Indonesia harus kembali membuka lembaran baru untuk soal kemiskinan. Satu catatan merah yang ditorehkan Indonesia di tahun 2015 lalu adalah jumlah penduduk miskin yang ternyata malah semakin bertambah ditengah cerita-cerita kesuksesan yang selalu didengung-dengungkan oleh Pemerintah.

            Berdasarkan hitungan statistik yang dilakukan oleh BPS, jumlah penduduk miskin Indonesia per September 2015 mencapai 28,51 juta orang, jumlah ini bertambah 780 ribu orang dibanding September 2014 sebanyak 27,73 juta orang. Untuk menentukan kategori penduduk miskin, BPS menggunakan garis kemiskinan sebesar Rp. 344.809 per kapita per bulan per bulan September 2015 untuk menentukan jumlah penduduk miskin Indonesia di tahun 2015 ini.

Dari sisi geografis, jumlah penduduk miskin paling banyak mendominasi di pulau Jawa sebesar 15,31 juta jiwa. Sementara sisanya tersebar di Sumatera sebesar 6,31 juta jiwa, Bali dan Nusa Tenggara 2,18 juta jiwa, pulau Sulawesi 2,19 juta jiwa, Maluku sebanyak 1,53 juta jiwa, dan Kalimantan 0,99 juta jiwa. Kesimpulannya, jika dibandingkan antara September 2014 hingga September 2015 jumlah penduduk miskin Indonesia bertambah sejumlah 0,78 juta jiwa.

Meningkatnya jumlah penduduk miskin Indonesia berbanding lurus dengan problem sosial lain yang menyertainya. Terlihat sangat jelas korelasinya dengan persoalan kesehatan dan pendidikan sebagai ekses dari kemiskinan yang menjadi persoalan klasik di Indonesia. Laporan Gizi Global 2014 yang dibuat oleh UNICEF menempatkan Indonesia diantara 31 negara yang tidak akan mencapai target global untuk menurunkan angka kurang gizi di tahun 2025. Data pemerintah menunjukkan 37% anak balita menderita stunting (tinggi badan yang lebih pendek dari umur mereka), 12% menderita wasting (terlalu kurus untuk tinggi badan mereka) dan 12% mengalami kelebihan berat badan. Penduduk miskin di Indonesia memiliki kemungkinan menderita stunting 50 persen lebih tinggi. Dengan kata lain, saat ini hampir sembilan juta anak dibawah usia lima tahun di Indonesia memiliki tinggi badan yang lebih pendek untuk umur mereka.

Pada sektor pendidikan tahun 2015 didapatkan angka anak putus sekolah mencapai  2,5 juta anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan lanjutan yakni sebanyak 600 ribu anak usia sekolah dasar (SD) dan 1,9 juta anak usia Sekolah Menengah Pertama (SMP). Angka anak putus sekolah ini terjadi dalam lingkup keluarga yang tidak mampu secara ekonomi (keluarga miskin).

            Tak dapat dipungkiri 5 tahun terakhir jumlah angkatan kerja buruh memang meningkat, hal ini disebabkan karena banjirnya investasi dalam wujud pembangunan sektor industri dan jasa di Indonesia. Dan itu berarti bahwa peningkatan jumlah buruh juga disebabkan menyempitnya lahan pertanian mereka yang disulap menjadi sektor industri dan jasa sehingga mereka terpaksa beralih menjadi buruh-buruh investor.

Sejak 2011 lalu, yang kala itu negara dipimpin oleh SBY menetapkan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia sebagai haluan dari perkembangan ekonomi Indonesia hingga 2025 mendatang. Sebuah ambisi dan mimpi besar diberikan untuk mengangkat Indonesia menjadi negara maju dan merupakan kekuatan 12 besar dunia di tahun 2025 sehingga rezim bertahta kala itu membuka kran sebesar-besarnya bagi investasi asing di Indonesia.

Mantan Presiden SBY dalam pidato pembukaannya pada pertemuan Chief Executife Officer [CEO] APEC, Nusa Dua, Bali, 6 Oktober 2013 dengan bangga mendeklarasikan“Untuk mempercepat pembangunan, pada Mei 2011, kami meluncurkan Master Plan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025 (MP3EI). Dalam waktu 14 tahun ke depan, kami menargetkan 460 miliar US$ untuk nvestasi di 22 kegiatan ekonomi utama, yang terintegrasi dalam delapan program, yang mencakup pertambangan, energi, industri, kelautan, pariwisata dan telekomunikasi. Karena itu, Master Plan ini memberikan kesempatan besar bagi investor internasional. Akhirnya, dalam kapasitas saya sebagai Kepala Pemasaran Perusahaan Indonesia (chief salesperson of Indonesia Inc), saya mengundang anda untuk memperbesar bisnis dan kesempatan investasi di Indonesia”

Ia (SBY), di hadapan pejabat eksekutif perusahaan dan berbagai kepala negara dalam forum APEC 2013 saat masih menjabat Presiden RI, sangat bangga menyatakan dirinya sebagai Kepala Pemasaran dari Perusahaan Indonesia. Jelas bahwa dengan menerbitkan MP3EI ini SBY berkehendak mengubah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Perusahaan Indonesia yang siap mengabdi pada investor asing (baca: pemodal asing), yang juga “diamini” oleh Presiden yang menjabat saat ini.

            Bab III Buku MP3EI yang mulai membicarakan detail setiap wilayah Indonesia yang akan diubah sebagai dapur penyedia komoditas global. Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Maluku, Papua, Bali, Nusa Tenggara, dan Sulawesi yang diubah sedemikian rupa menjadi “Koridor Ekonomi” dengan berbagai data statistik yang menunjukkan “masih banyak yang belum dikeruk dari bumi Nusantara ini”.  Sejak halaman pertama buku MP3EI ini menyajikan dan menawarkan potensi alam Indonesia yang bisa menghasilkan berbagai macam komoditi global yang tidak bisa tumbuh di sembarang tempat kecuali Indonesia, hingga potensi tenaga pekerjanya yang bisa dibayar murah.

Semua itu adalah tawaran-tawaran bagi investor dari perusahaan raksasa karena hanya merekalah yang mampu melakukan pengerukan dengan dalih pembangunan. Dari awal hingga akhir bab buku ini semua ditopang dengan cerita kekayaan alam, tersedianya tenaga kerja murah, dan berbagai macam insentif bagi investor. Artinya Indonesia siap menjadi pemasok bahan mentah dan penyedia tenaga kerja murah bagi investor asing sekaligus pasar bagi produk ciptaan mereka.

Tenaga kerja murah selalu menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam setiap tawaran negara untuk menarik investasi masuk ke Indonesia, karena ini adalah bagian dari ‘mensukseskan’ akumulasi kapital (red: akumulasi modal). Maka jangan heran sekalipun upah buruh selalu meningkat setiap tahun ini tidak akan sebanding dengan kebutuhan hidup yang juga semakin meningkat. Oleh karena itu kehidupan buruh akan selalu jauh dari kata ‘layak’ sebab memang akumulasi kapital (red: penimbunan/pengumpulan modal) tidak akan mengijinkan tenaga kerjanya mendapatkan hasil yang sesuai dengan apa yang telah ia kerjakan.

Dalam setiap aliran akumulasi kapital selalu terdapat kontradiksi:

Pertama, kapital beroperasi melalui dua transformasi, dimana “alat subsistensi sosial dan produksi diubah menjadi kapital, dan produsen langsung diubah menjadi tenaga kerja upahan”. Untuk menciptakan perkebunan besar, kawasan industri, dan pembangunan infrastuktur untuk memperlancar aliran kapital, pemodal akan membuat cara sedemikian rupa untuk memisahkan orang dari tanahnya baik melalui perampasan tanah maupun dengan cara yang tidak secara langsung digunakan supaya orang melepaskan tanahnya (misalnya dengan menerapkan sewa tanah dan biaya produksi yang tinggi sehingga terpaksa pemilik tanah menutup kebutuhan dengan hutang yang pada akhirnya tidak dapat terbayarkan). Dan pemodal pasti juga akan mengubah produsen langsung seperti petani untuk menjadi buruh upahan. Karena hanya dengan cara ini ketersediaan tanah dan tenaga kerja murah tetap berlangsung. Maka tak heran jika  5 tahun terakhir peningkatan jumlah tenaga kerja (buruh upahan) meningkat. Sebab banyak lahan pertanian yang diubah menjadi lahan industri sehingga petani beralih menjadi buruh upahan.

Kedua, proses akumulasi kapital selalu menghasilkan kenyataan tentang eksploitasi pekerja oleh pemilik modal. Ini selalu terjadi dalam setiap proses akumulasi kapital. Cara bagaimana pemilik modal memperoleh laba (nilai lebih) adalah dengan melakukan eksploitasi (red: penghisapan) tenaga kerja. Laba (nilai lebih) yang diperoleh pemodal didapatkan dari selisih antara jumlah yang dibayarkan dengan kelebihan kerja buruh yang tak dibayarkan. Disini berarti, hampir tidak mungkin buruh menerima upahnya setimpal dengan apa yang dia kerjakan sebab akumulasi kapital itulah berasal  dari nilai lebih (laba) yang diperoleh dengan cara mengeksploitasi tenaga kerja.

Politik Eksploitasi Buruh di Indonesia

Hukum lahir sebagai alat politik penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Begitu juga dengan paket-paket kebijakan perburuhan yang dikeluarkan oleh negara (Undang-Undang No. 13 tahun 2003, Undang-Undang No. 2 tahun 2004, Undang-Undang No. 21 tahun 2000, dan Peraturan Pemerintah No. 78 tahun 2015 tentang Pengupahan). Empat paket kebijakan ini tentunya tidak lahir tanpa ada kepentingan yang melatarbelakanginya. Empat paket kebijakan perburuhan ini adalah paket-paket yang sengaja dibuat untuk mengakomodir kepentingan dan program globalisasi Multi National Coorperation (MNC) yang didirikan oleh negara-negara kapitalis dunia, yang dikenal diantaranya ialah IMF dan World Bank. Paket kebijakan ini sengaja dikeluarkan untuk menjamin ketersediaan tenaga kerja murah yang siap dieksplotasi oleh pemodal dan celakanya buruh senantiasa ditempatkan pada posisi yang tidak pernah beruntung dalam setiap kebijakan perburuhan nasional.

Bermula dengan sebuah dalih mengentaskan kemiskinan, IMF menawarkan pemberian hutang kepada Indonesia dengan syarat Indonesia harus melakukan perubahan beberapa kebijakan agar lebih menguntungkan Negara-negara kapitalis tersebut. Dalam salah satu pasal dalam Letter of Intent (LoI)  dinyatakan bahwa Indonesia harus melakukan beberapa perubahan yang berkaitan dengan perburuhan, salah satunya adalah adanya flexibility labour market atau dalam bahasa awam dikenal dengan hubungan perburuhan yang bersifat fleksibel. Dalam salah satu pasal LoI disebutkan bahwa “Following the major reform of the rights of association and union activity in 2000, modernization of complementary labor legislation relating to industrial relations has become a priority. A bill relating to labor protection has now been passed, and we are working closely with Parliament to ensure that the other bill in this area, on industrial dispute resolution, is enacted during the first half of 2003. We are working with labor and business to ensure that the laws strike an appropriate balance between protecting the rights of workers, including freedom of association, and preserving a flexible labor market”[1] [Berikut reformasi utama dari hak dasar dan persatuan kegiatan pada tahun 2000, tenaga kerja modernisasi saling melengkapi peraturan perundang-undangan berkaitan dengan hubungan industrial telah menjadi prioritas. Tagihan berkaitan dengan tenaga kerja perlindungan ini kini berada lulus, erat dan kami bekerja dengan parlemen untuk memastikan bahwa para bill lain di daerah ini, penyelesaian sengketa pada industri, ini diundangkan selama semester pertama 2003. Kami sedang bekerja dengan tenaga kerja dan bisnis untuk memastikan bahwa hukum-hukum menyerang sebuah sesuai seimbang antara melindungi hak-hak pekerja, termasuk kebebasan dasar, dan melestarikan pasar tenaga kerja yang fleksibe].

Perlu diingat 3 kepentingan negara-negara kapitalis di Indonesia adalah ketersediaan bahan mentah bagi produksi mereka (ini yang kelak memunculkan konflik agraria dan perampasan tanah), ketersediaan tenaga kerja murah, dan pasar bagi hasil produksi mereka. Maka jangan heran bila untuk memenuhi ketersediaan bahan mentah pada tahun 2011 SBY meluncurkan MP3EI yang hampir setiap proyek besarnya tak lain adalah ‘pengerukan’ sumber daya alam di Indonesia dan pembangunan infrastruktur untuk mempercepat sumber daya alam dikirim ke negara-negara kapitalis (red: mempercepat aliran akumulasi kapital). Sedangkan untuk menjaga ketersediaan tenaga kerja murah, Indonesia menandatangani kesepakatan dengan IMF untuk melestarikan pasar tenaga kerja yang fleksibel, yang kemudian diwujudkan dalam 4 paket kebijakan perburuhan nasional.

World Bank didirikan pada tahun 1944 dengan tujuan sebagai sumber keuangan vital membangun negara-negara di dunia. Salah satu program yang dilakukan Wolrd Bank adalah memberikan pinjaman kepada negara-negara miskin dengan bunga lunak, membantu negara-negara peminjam dalam aspek pendidikan, kesehatan, infrastruktur, dll. Tujuan World Bank ialah untuk menghapuskan kemiskinan dan keberlanjutan pembangunan. Dalam pemahaman World Bank, yang dimaksud dengan pembangunan yang berkelanjutan ialah pertumbuhan ekonomi, membangun iklim yang baik untuk investasi. Iklim investasi yang baik dianggap mampu menjawab permasalahan kemiskinan di suatu negara.[2]  Dengan pemberian pinjaman itulah negara yang meminjam akan menjadi ketergantungan dengan pemberi pinjaman maka akan sangat mudah dikendalikan oleh pemberi pinjaman.

IMF menguasai negara-negara yang dilanda krisis ekonomi lewat Program Penyesuaian Struktural (SAP=Structural Adjustment Program) dengan kontrak LoI (letter of intent). Dalam kontrak ini terdapat klausul-klausul dalam perjanjian konvensional yang memuat sejumlah hak dan kewajiban yang negara peminjam (debitur) dan lembaga yang memberi pinjaman (kreditur). Indonesia menjadi pasien IMF sejak krisis 1997, dengan paket bantuan $ 43 milyar; juga  program bail-out utang swasta (obligasi) yang sekarang  berjumlah Rp 600 trilyun. Salah satu kewajiban yang harus dilakukan Indonesia sebagai negara peminjam ialah menyesuaikan beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia seperti UU Hak Kekayaan Intelektual, UU Sumber Daya Air[3],  termasuk juga UU Ketenagakerjaan (yang akan berbicara soal investasi dan akumulasi modal dengan tersedianya tenaga kerja murah).

Kondisi di atas menggambarkan bagaimana kondisi Indonesia sebagai bagian dari dunia dipengaruhi TNC dan MNC. Salah satu contoh, melalui Letter of Intent yang disepakati Indonesia dan IMF, Indonesia melakukan perubahan beberapa kebijakan di bidang ketenagakerjaan, investasi, sumber daya alam, dll. yang intinya mempermudah investor masuk ke Indonesia. Namun sebagaimana diuraikan di atas, investasi tanpa batas yang diterapkan negara merupakan agenda yang membawa lebih banyak kesengsaraan daripada kesejahteraan.

Akhir

MP3EI dan paket-paket kebijakan yang senantiasa menjaga keberlangsungan ketersediaan tenaga kerja murah ini jelas akan menambah deretan derita buruh. Paket kebijakan perburuhan nasional ditambah mimpi besar MP3EI semakin mempercepat, memperluas, serta memasifkan eksploitasi buruh sebab MP3EI ini pasti akan menggusur produsen (petani) yang kemudian diubah menjadi buruh upahan. Akan semakin banyak buruh yang dieksploitasi untuk kepentingan akumulasi kapital pemilik modal. Bisa dipastikan pertumbuhan ekonomi yang dimimpikan oleh rezim kemarin dan hari ini berkuasa  bukanlah untuk pertumbuhan dan kesejahteraan buruh dan pekerja lainnya, tetapi pertumbuhan ekonomi yang dimaksud adalah untuk menyelesaikan krisis ekonomi dan mengembalikan kekuatan ekonomi pemilik modal.

Dengan kata lain, segala bentuk pembangunan dan mimpi percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi bukan diorientasikan untuk kesejahteraan rakyat di negeri ini tapi untuk memuaskan hasrat dan memenuhi kekuatan ekonomi pemilik modal asing. Lebih jauh lagi bisa disimpulkan bahwasanya pemimpin negeri ini sudah tidak lagi bekerja untuk rakyatnya melainkan bekerja dan mengabdi pada pemilik modal. Akhirnya, dibalik kisah tentang megahnya pembangunan yang direncanakan dalam MP3EI terhampar cerita tentang kondisi kaum buruh, eksploitasi dan kondisi kehidupannya (buruh) yang tak kunjung membaik. Ironis…!!!

[1] Letter of Intent Indonesia 18 Maret 2003 dapat dilihat di http://www.imf.org/External/NP/LOI/2003/idn/01/index.htm

[2]  www.worldbank.org

[3] Paket SAP dari Bank Dunia dan IMF untuk Indonesia

  1. Mengembalikan mekanisme pasar bebas sebagai penentu pembentukan harga barang dan jasa dan proses pengalokasian sumber-sumber ekonomi secara optimal (allocative efficiency)
  2. Swastanisasi seluas-luasnya. Berarti meminimalkan penguasaan pemerintah dalam asset ekonomi dan meminimalkan keterlibatan pemerintah dalam kegiatan ekonomi, termasuk dalam pembangunan prasarana publik
  3. Kebijakan moneter (pengetatan kredit dan pengenaan tingkat suku bunga yang relatif tinggi) dan fiskal (pengurangan atau penghapusan subsidi) yang kontraktif dengan tujuan mencegah inflasi
  4. Penghapusan segala bentuk proteksi dan liberalisasi impor untuk menimbulkan daya saing dan efisiensi unit-unit ekonomi domestik, sesuai dengan ketentuan WTO
  5. Memperbesar dan memperlancar arus masuk investasi asing lewat fasilitas yang lebih luas dan liberal. Ketentuan yang membatasi pemilikan asing dihapuskan.