Bangkitnya Rezim Otoriter Orde Baru

Sebuah poster ANTI-TANK Project di suatu sudut Yogyakarta.
Sebuah poster ANTI-TANK Project di suatu sudut Yogyakarta.

Oleh : Adhelano Tuakia

“… Dan bila omongan penguasa
Tidak boleh dibantah
Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang
Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan
Dituduh subversif dan mengganggu keamanan
Maka hanya ada satu kata: lawan!”

(Wiji Thukul : Peringatan, 1986)

Begitulah penggalan puisi yang pernah diciptakan oleh seorang Wiji Thukul di rezim yang begitu represif dan otoriter. Ya, pada saat rezim Soeharto berkuasa 32 tahun lamanya. Masih sangat kental dipikiran bagaimana rezim ini membabi buta menghabisi setiap rakyat di negeri ini yang dipandang akan mengganggu kelangsungan kekuasaannya. Semua elemen rakyat yang mencoba mengkritik dituduhnya subversif. Diculik, dipukul, ditahan tanpa proses peradilan yang fair, hingga penghilangan nyawa seseorang. Banyak peristiwa-peristiwa pelanggaran hak azasi manusia dilakukan oleh negara kala itu. Mulai dari aksi yang diinisiatori oleh mahasiswa, aksi buruh hingga perampasan lahan yang menghilangkan banyak nyawa kaum petani menjadi catatan berharga sepanjang pemerintahan Rezim Soeharto berkuasa.

Tak lupakah dengan kasus yang dialami oleh seorang buruh perempuan pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari? Marsinah seorang buruh yang begitu aktif memperjuangkan hak-hak buruh di pabrik tempatnya bekerja ditemukan sudah tak bernyawa di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan Nganjuk dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat. Sampai dengan detik ini pelaku pembunuhan Marsinah tidak terungkap dan kasusnya ditetapkan daluwarsa pada 2013 lalu. Atau kasus waduk Nipah di Madura, dimana banyak korban jatuh karena ditembak aparat ketika mereka memprotes penggusuran tanah mereka. Kasus wartawan harian Bernas Fuad M Syafrudin alias Udin di Yogyakarta yang meninggal pada 16 Agustus 1996 di RS Bethesda Yogyakarta setelah dianiaya oleh orang tidak dikenal pada 13 Agustus 1996 malam, dirumahnya dusun Samalo Jl Parangtritis KM 13 Patalan Bantul Yogyakarta. Kasus pembunuhan Udin yang sangat dipengaruhi oleh adanya pemberitaan yang ditulisnya di harian Bernas terkait penyelewengan dana Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan kinerja Pemda Bantul dibawah pimpinan Bupati Sri Roso Sudarmo. Kasus yang hingga saat ini juga tidak ada keseriusan dari negara untuk mengungkap siapa dibalik pembunuhan Udin. Dan kasus-kasus lainnya yang juga banyak menghilangkan nyawa rakyat yang hendak bersuara lantang menentang pemerintahan Soeharto. Puncaknya terjadi tahun 1998 dimana geliat perlawanan semakin massif terjadi di seluruh pelosok negeri mulai dari mahasiswa hingga rakyat klas pekerja yang semakin mempertontonkan pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh rezim berkuasa saat itu. Kerusuhan Mei, ribuan jiwa meninggal, puluhan perempuan diperkosa dan harta benda hilang. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa Trisakti di Jakarta, dua hari sebelum kerusuhan Mei. Pembunuhan terhadap beberapa mahasiswa dalam demonstrasi menentang Sidang Istimewa 1998 terjadi pada 13 – 14 November 1998 dan dikenal sebagai tragedi Semanggi I. Pembunuhan terhadap seorang mahasiswa dan beberapa warga sipil yang melakukan demonstrasi penolakan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya (RUU PKB) pada 23 – 24 November 1999 dan dikenal sebagai peristiwa Semanggi II serta masih banyak pelanggaran HAM yang lain yang sampai detik ini meninggalkan dosa sejarah yang belum terselesaikan oleh bangsa ini.

Tumbangnya rezim Soeharto 1998 agaknya membawa angin segar bagi penegakan hukum di Indonesia khususnya dalam pengakuan terhadap nilai-nilai Hak Azasi Manusia, sekalipun dalam implementasinya tidak sejalan dengan semangatnya sebab sangat banyak peristiwa pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai era reformasi ini belum diselesaikan dengan tuntas. Akan tetapi berbagai instrumen hukum diundangkan sebagai bentuk pengakuan atas nilai-nilai HAM. Dalam rumusan teoritiknya sendiri hak asasi manusia dimiliki setiap insan manusia sejak lahir dan tidak dapat dikurangi ataupun dirampas dalam keadaan apapun. Salah satu hak azasi manusia yang diatur dalam UUD 1945 adalah hak berserikat dan mengeluarkan pendapat dimuka umum, seperti yang tertuang didalam konstitusi UUD 1945 pasal 28 I ayat 1. Pengakuan dan penghormatan terhadap HAM juga dapat dilihat dengan diundangkannya UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia dan diratifikasinya Konvenan Hak-Hak Sipil dan Politik melalui UU No. 11 tahun 2005. Secara tegas dan jelas Pasal 23 ayat (2) UU No. 39 tahun 1999 menentukan bahwa Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan negara. Sedangkan lebih lanjut dalam Pasal 25 menyatakan Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lantas yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang mempunyai dan mengemban kewajiban untuk menjamin dipenuhinya HAM? Dalam Pasal 8 UU No. 39 tahun 1999 sangat jelas menegaskan bahwasanya perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia terutama menjadi tanggung jawab Pemerintah. Negara memikul tanggungjawab sebagai subyek yang harus memastikan bahwa HAM telah terpenuhi.

Tujuh belas tahun sudah Indonesia menampilkan sosoknya sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM dengan meratifikasi konvenan-konvenan internasional yang berbicara soal perlindungan dan penegakan HAM. Namun, apakah perjalanan tujuh belas tahun itu Indonesia benar-benar hadir sebagai negara yang menjunjung tinggi HAM? Dan apakah tujuh belas tahun sejak tergulingnya rezim otoriter Soeharto kebebasan berkumpul dan menyatakan pendapat di muka umum benar-benar dilindungi? Atau justru pengakuan atas HAM hanya menjadi sebuah “dongeng” belaka yang meneduhkan untuk didengar tanpa bisa dibuktikan apakah “dongeng” itu benar terjadi?

Beberapa waktu lalu tepatnya 12 November 2004, rakyat kembali dicengangkan dengan berita kematian seorang pengacara publik yang kencang berbicara soal pengusutan kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Saat itu polisi Belanda yang telah melakukan otopsi mengeluarkan berita bahwa ditemukan senyawa arsenik pada tubuh Munir yang diduga diberikan pada jus jeruk yang diminumnya. Munir adalah orang yang dikenal sebagai pengacara publik sekaligus penggiat HAM yang dibunuh saat perjalanannya dari Jakarta menuju Amsterdam. Yang sampai dengan detik ini pelaku dibalik peristiwa kematian Munir belum juga diadili.

Di masa pemerintahan SBY pelanggaran atas kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat di muka umum juga tak kalah memprihatinkan. Represifitas dilakukan untuk meredam gejolak perlawanan petani Mesuji dan petani Perkebunan Ramunia, Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang Sumatera Utara. Aparat kepolisian hingga TNI diturunkan untuk membabat habis perlawanan yang dilakukan oleh kaum petani. Aksi buruh dan mahasiswa dibubarkan dengan anarkisnya. Pemimpin organisasi buruh dan mahasiswa ditangkap dan ditahan karena dianggap mengancam stabilitas keamanan negara.

Di rezim yang hari ini berkuasa pun tidak lebih baik kondisinya. Represifitas masih mewarnai setiap rakyat yang kritis terhadap penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh negara. Ingatkah bagaimana kaum petani di urut sewu diperhadapkan dengan TNI saat kaum tani menolak tanah kepunyaannya diklaim sebagai tanah milik TNI. Mereka dipukul, disiksa, bahkan dipenjara. Atau mungkin sudah lupakah dengan peristiwa yang dialami oleh petani pesisir Kulon Progo yang menolak rencana pembangunan bandara baru di Kulon Progo yang akan merampas tanah milliknya. 4 petani yang dijatuhi hukuman pidana karena divonis melakukan penghasutan dan kekerasan saat mereka melakukan aksi menolak penggusuran akibat pembangunan bandara baru. Kasus Salim Kancil di Lumajang, penggusuran Kampung Pulo, reklamasi teluk Benoa dan teluk Jakarta, serta represifitas dan kriminalisasi terhadap 23 aktivis buruh dan 2 orang pengacara publik LBH Jakarta saat melakukan aksi didepan Istana Negara, kasus-kasus itu terjadi di rezim yang saat ini berkuasa Jokowi-Kalla.

Di rezim yang hari ini berkuasa, tidak hanya aparat kepolisian dan TNI yang digunakan sebagai alat untuk membungkam kritik dan melanggengkan kekuasaannya. Bahkan beberapa organisasi massa juga dilanggengkan keberadaannya untuk menjaga kepentingan kaum penguasa di negeri ini. Organisasi-organisasi ini sengaja “dihidupkan” untuk dijadikan alat melemahkan gerakan-gerakan rakyat yang mulai sadar akan ketertindasan dan ketidakadilan yang dilakukan oleh rezim penguasa. Kebebasan menyampaikan pendapat menjadi sebuah “ancaman” yang dianggap mengganggu keamanan negara. Sehingga pada pertengahan 2015 lalu rezim ini menggolontorkan wacana untuk membahas RUU Keamanan Nasional. Dimana beberapa pasal dalam RUU ini memasukkan unsur TNI sebagai aparat yang juga dapat berperan aktif manakala ada situasi yang dianggap mengancam keamanan negara. Dan RUU Keamanan Nasional akan diajukan oleh Pemerintah untuk dibahas lagi pada 2016 ini. RUU ini tak jauh berbeda dengan UU Subversif di rezim otoriter Orde Baru. Langkah ini tak pelak menjadi sebuah pertanda kebangkitan kembali rezim otoriter Orde Baru pada rezim hari ini. Kritik dilarang, suara dibungkam dituduh subversif dan mengganggu keamanan negara akan menjadi kata lama yang “dibangkitkan” kembali di rezim hari ini. Lantas apa yang akan rakyat Indonesia lakukan ketika kritik tidak lagi diperbolehkan dan suara tidak lagi didengar?